Penyakit Mulut dan Kuku Muncul Lagi, Pengamat : Kesalahan Kebijakan Impor

Sariagri - Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak terjadi di Jawa Timur, setelah Indonesia menyandang status bebas PMK dari Organisasi Kesehatan Hewan Internasional sejak 1990. Salah satu penyebaran PMK antara wilayah atau negara umumnya terjadi melalui perpindahan ternak terinfeksi, produk asal ternak tertular dan hewan karier (pembawa virus). Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menilai kendurnya kebijakan impor ternak dan produk ternak menjadi salah satu sumber masuknya kembali PMK di Indonesia. Menurut Agus, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan menjadi kecerobohan pemerintah. Dalam PP No 4 Tahun 2016 Pasal 6 ayat 1c menyebutkan pemasukan produk hewan dapat berasal dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku dan telah memiliki program pengendalian resmi penyakit mulut dan kuku yang diakui oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia.  Lewat PP tersebut, Indonesia mengimpor produk ternak dari negara yang belum bebas PMK seperti daging kerbau dari India yang harganya lebih murah untuk stabilisasi harga daging dalam negeri. "Sekarang kalau dihitung harganya lebih mahal mana, ternak kena PMK atau setop impor daging dari yang belum bebas PMK?," kata Agus saat dihubungi Sariagri, Senin (9/5). Agus menjelaskan, ketika PMK sudah merebak di peternakan dalam negeri maka biaya yang dikeluarkan pemerintah menjadi jauh lebih besar, mulai dari penyediaan vaksin, pemusnahan hewan ternak yang terinfeksi, hingga memberikan kompensasi kepada peternak terdampak PMK. "Dulu sempat kami lakukan judicial review PP ini di MA, cuma kami kalah. Padahal maksud kami adalah melindungi dari PMK ini. Kalau sekarang ya sudah, itu costnya besar sekali mungkin mirip-mirip Covid," ungkapnya. Selain itu, kata Agus, dampak buruk lainnya dari wabah PMK yaitu ekspor produk ternak Indonesia akan terganggu. "Produk susu tidak bisa ekspor, orang nggak mau terima karena Indonesia belum bebas PMK. Kan repot itu, berapa devisa yang hilang?," ucapnya. Agus menekankan, Pemerintah harus segera meninjau kembali berbagai peraturan terkait impor produk hewan dari negara berstatus belum bebas PMK. Bahkan, impor produk hewan ternak dari negara terkait PMK perlu segera disetop. "Harus di stop, kalau tidak nanti bisa impor terus. Jika harga daging jadi mahal nantinya itu sudah resiko, karena itu kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah kan. Dari dulu nggak pernah beres untuk impor sapi bakalannya," pungkasnya. Sebelumnya, kasus pertama dilaporkan terjadi di Kabupaten Gresik pada 28 April 2022 dengan jumlah kasus sebanyak 402 ekor sapi potong yang terjangkit PMK dan tersebar di lima kecamatan, meliputi 22 desa. Kasus kedua dilaporkan pada 1 Mei 2022 di Kabupaten Lamongan, yaitu sebanyak 102 ekor sapi potong terindikasi mengalami PMK yang tersebar di tiga kecamatan, meliputi enam desa. Pada hari yang sama, di Sidoarjo juga ditemukan kasus yang menjangkit sebanyak 595 ekor sapi potong, sapi perah dan kerbau di 11 kecamatan, meliputi 14 desa. Sedangkan, kasus keempat pada 3 Mei 2022 di Kabupaten Mojokerto yang dilaporkan tercatat ada 148 ekor sapi potong yang tersebar di sembilan kecamatan, meliputi 19 desa.
http://dlvr.it/SQ0tTB

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama