Lumpy Skin Disease (LSD) merupakan penyakit infeksius pada hewan ternak sapi dan kerbau disebabkan virus Lumpy Skin Disease Virus (LSDV) yang masuk dalam genus Capripoxvirus.
Saat ini tidak hanya di Riau, kasus LSD sudah merebak ke wilayah lain di Pulau Sumatera. Sejak awal 2022, kasus LSD telah muncul di kabupaten/kota di Provinsi Riau seperti Bengkalis, Dumai, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Pelalawan dan Siak.
“Penyebaran sangat cepat dan ini yang membahayakan bagi kita,” ujar Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Muhammad Munawaroh dalam Webinar Pataka, Rabu (20/4/2022).
Munawaroh mengungkapkan pengendalian LSD di Asia Tenggara hampir semua negara menggunakan program vaksinasi begitu juga Indonesia. Penggunaan vaksin darurat, Vietnam mengimpor vaksin 9 juta dosis, Thailand 5,5 juta dosis, Malaysia 0,3 juta dosis dan Indonesia sampai saat ini hanya 100 ribu dosis.
“Siapkah kita melakukan itu, karena kita kejar-kejaran dengan virusnya sedangkan vaksinasinya belum disiapkan," katanya.
Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH Kementan Nuryani Zainuddin menilai vaksinasi darurat yang paling tepat dan efektif dalam pengendalian dan pemberantasan LSD. Vaksinasi lebih mudah diimplementasikan dibanding tindakan teknis lain, misalnya stamping out yang dapat mengurangi jumlah hewan rentan.
“Vaksinasi pada unit usaha peternakan sapi keterbatasan anggaran, kami sudah melakukan pengajuan anggaran kepada Dirjen PKH, terkait dengan penanggulangan LSD ini. Anggaran dari sumber APBN, hingga saat ini kami belum memperoleh. Sehingga kami mencoba berbagai usaha alternatif mengkomunikasikan dengan Inspektorat Jenderal, Biro Umum,” jelasnya.
Dia menyebutkan, dalam rangka pencegahan unit usaha peternakan sapi, masyarakat bisa melaksanakan vaksinasi secara mandiri. Selain itu vaksinasi bisa dilakukan asosiasi peternakan karena penggunaan khusus (vaksin dalam kondisi wabah) meski belum teregistrasi dan vaksin live attenuated. Prosedur alokasi vaksin ditentukan pemerintah.
Sariagri - Dia menambahkan, realisasi vaksinasi dilakukan pengawasan pemerintah daerah. Sedangkan pelaporan vaksinasi kepada pemerintah bisa melalui iSIKHNAS.
“Hanya saja, boleh dilakukan asosiasi tetapi disarankan agar vaksin itu diregistrasi dan registrasinya harus hati-hati. Melalui serangkaian proses pengujian. Ini belum final, kami akan konsultasikan ke biro hukum kami. Ini kenapa kami lakukan karena akses anggaran yang kurang dari IHSP,” pungkasnya.
http://dlvr.it/SNycN6
http://dlvr.it/SNycN6